Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 127 - 129
Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 127 – 129 adalah kajian tafsir Al-Quran yang disampaikan oleh: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Kajian ini beliau sampaikan di Masjid Al-Barkah, komplek studio Radio Rodja dan RodjaTV pada Selasa, 28 Shafar 1440 H / 06 November 2018 M.
Kajian Tafsir Al-Quran: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 127 – 129
Dalam Surat Al-Baqarah Ayat 127, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴿١٢٧﴾
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim membangun dasar-dasar Baitullah bersama anaknya yang bernama Ismail (seraya berdoa): “Ya Rabb kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.” (QS. Al-Baqarah[2]: 127)
Pada ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan tentang Nabi Ibrahim bersama anaknya yang membangun Ka’bah dimana ka’bah itu Allah jadikan sebagai tempat ibadah sampai hari kiamat dan Nabi Ibrahim minta kepada Allah agar hati manusia selalu condong kepada rumah ini. Dan Allah subhanahu wa ta’ala kabulkan. Kita lihat bagaimana orang-orang yang ada dihatinya terdapat iman dan Islam, mereka selalu rindu untuk pergi haji, umroh, ini sebagai pengabulan do’a Nabi Ibrahim ‘alaihish sholatu was salam.
Faidah Surat Al-Baqarah Ayat 125
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyebutkan beberapa faidah:
Pertama, keutamaan memakmurkan Ka’bah. Karena Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengingat tentang kisah ini. Dimana Nabi Ibrahim meninggikan bangunannya. Dan memakmurkan Ka’bah tentu dengan cara thawaf. Maka dari itu Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa amal yang paling utama ketika kita berada di kota Mekah adalah memperbanyak thawaf. Bahkan thawaf lebih utama dari shalat sunnah.
Kedua, keutamaan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Karena keduanyalah yang meninggikan bangunan Ka’bah. Maka setiap thawaf di Ka’bah, maka Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail mendapatkan pahalanya.
Ketiga, bolehnya tolong-menolong dalam perkara kebaikan.
Keempat, pentingnya diterimanya amal. Sehingga Nabi Ibrahim berdo’a, “Ya Rabb kami terimalah daripada kami (amalan kami)” Hal ini memberikan isyarat bahwa jika Nabi Ibrahim saja meminta kepada Allah agar amalannya diterima, apalagi kita? Keimanan dan keikhlasan kita tidak sebanding dengan beliau. Maka sudah sepantasnya bagi kita untuk tidak tertipu dengan banyaknya amal. Karena amalan yang kita lakukan itu hakikatnya bantuan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Kita juga tidak tahu amalan mana yang sudah diterima oleh Allah. Oleh karena itulah tidak ada satupun para sahabat yang merasa imannya sudah seperti iman Jibril dan Mikail. Padahal keimanan mereka dipuji langsung oleh Allah dan RasulNya.
Ibnu Umar berkata, “Kalaulah aku tahu bahwa ada shalatku yang diterima oleh Allah, sungguh lebih aku sukai dari pada dunia dan seisinya.” Maka kita harus berusaha agar amalan kita diterima. Dan tentu harus memenuhi syarat-syarat diterimanya amal. Yaitu Ikhlas dan Mutaba’ah (sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Sebetulnya, tujuan amal adalah agar diterima. Bukan sebatas beramal. Ada sebagian orang yang tujuannya hanya sebatas melaksanakan dan tidak peduli apakah amalan yang dia lakukan diterima oleh Allah atau tidak. Tentu ini salah besar. Tidak adanya keinginan agar amal ibadahnya diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan bahwa orang tersebut lalai. Keinginan terbesar seorang mukmin adalah amal ibadahnya diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala, agar amal shalihnya bisa menimbulkan ketakwaan, agar amal shalih ini bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya.
Berapa banyak orang yang amalannya banyak tapi ternyata tidak ada dari amalannya kecuali kelelahannya saja dan tidak memberikan manfaat apa-apa kepada dia. Dan berapa banyak yang amalannya sedikit tapi diterima oleh Allah? Maka dengan amalan yang sedikit itu bermanfaat untuk hidupnya. Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Thabrani)
Oleh karena itu yang harus kita fikirkan baik-baik ketika kita beribadah adalah bagaimana ibadah itu diterima. Kita harus bersungguh-sungguh disana. Jika kita tidak sungguh-sungguh tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Apa lagi faidah selanjutnya?
Simak dan Download MP3 Kajian Tafsir Al-Quran: Tafsir Surat Al-Baqarah 127 – 129
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/45156-tafsir-surat-al-baqarah-ayat-127-129/